Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Beda Agama Perspektif KHI dan Hukum Islam

Izhar Izhar, Dhiauddin Tanjung

Abstract


Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 209 ayat 1 dan 2 menyebutkan “ wasiat wajibah diperuntukkan bagi anak angkat yang orang tuanya meninggal dunia tanpa wasiat, atau sebaliknya diberikan kepada orang tua angkat yang anak angkatnya meninggal dunia tanpa wasiat”.[1]  Akan tetapi putusan dari Mahkamah No 16 K/AG/2010 dalam hal memberikan wasiat wajibah kepada istri yang non muslim. MA memberikan bagian wasiat wajibah kepada istri non muslim tentunya berbeda dengan ketentuan dalam KHI pasal 209. Begitu juga halnya kepada orang tua atau anak kandung beda agama yang  terhalang mendapat hak warisan.Sementara dalam Pasal 171 KHI, ketentuan umum tentang orang yang berhak mendapat warisan dengan ketentuan bagian tertentu, namun ada hal lain yang tidak disebutkan secara khusus oleh KHI, yaitu agama yang diyakini ahli waris, sebagiamana hal tersebut tersirat dari pasal 171 huruf (c) KHI yang mendefinisikan ahli waris, yaitu: “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.” Berdasarkan ketentuan tersebut, berlainan agama akan terhalang haknya mendapat harta warisan layaknya ahli waris lainnya. Ketentuan ini merupakan kesepakatan sebagian ulama yang menentukan 3 hal yang menjadi halangan seseorang menjadi ahli waris yaitu karena perbudakan, pembunuhan, dan perbedaan agama. Islam sebagai rahmatan lil alamin maka hukum yang terdapat dalam Isalampun harus mewujudkan kerahmatan itu, terlebih bahwa asas dari hukum itu adalah, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
[1]Kompilasi Hukum Islam (KHI).Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 209 ayat 1 dan 2 menyebutkan “ wasiat wajibah diperuntukkan bagi anak angkat yang orang tuanya meninggal dunia tanpa wasiat, atau sebaliknya diberikan kepada orang tua angkat yang anak angkatnya meninggal dunia tanpa wasiat”.[1]  Akan tetapi putusan dari Mahkamah No 16 K/AG/2010 dalam hal memberikan wasiat wajibah kepada istri yang non muslim. MA memberikan bagian wasiat wajibah kepada istri non muslim tentunya berbeda dengan ketentuan dalam KHI pasal 209. Begitu juga halnya kepada orang tua atau anak kandung beda agama yang  terhalang mendapat hak warisan.Sementara dalam Pasal 171 KHI, ketentuan umum tentang orang yang berhak mendapat warisan dengan ketentuan bagian tertentu, namun ada hal lain yang tidak disebutkan secara khusus oleh KHI, yaitu agama yang diyakini ahli waris, sebagiamana hal tersebut tersirat dari pasal 171 huruf (c) KHI yang mendefinisikan ahli waris, yaitu: “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.” Berdasarkan ketentuan tersebut, berlainan agama akan terhalang haknya mendapat harta warisan layaknya ahli waris lainnya. Ketentuan ini merupakan kesepakatan sebagian ulama yang menentukan 3 hal yang menjadi halangan seseorang menjadi ahli waris yaitu karena perbudakan, pembunuhan, dan perbedaan agama. Islam sebagai rahmatan lil alamin maka hukum yang terdapat dalam Isalampun harus mewujudkan kerahmatan itu, terlebih bahwa asas dari hukum itu adalah, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

[1] Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 209 ayat 1 dan 2 menyebutkan “ wasiat wajibah diperuntukkan bagi anak angkat yang orang tuanya meninggal dunia tanpa wasiat, atau sebaliknya diberikan kepada orang tua angkat yang anak angkatnya meninggal dunia tanpa wasiat”.[1]  Akan tetapi putusan dari Mahkamah No 16 K/AG/2010 dalam hal memberikan wasiat wajibah kepada istri yang non muslim. MA memberikan bagian wasiat wajibah kepada istri non muslim tentunya berbeda dengan ketentuan dalam KHI pasal 209. Begitu juga halnya kepada orang tua atau anak kandung beda agama yang  terhalang mendapat hak warisan.Sementara dalam Pasal 171 KHI, ketentuan umum tentang orang yang berhak mendapat warisan dengan ketentuan bagian tertentu, namun ada hal lain yang tidak disebutkan secara khusus oleh KHI, yaitu agama yang diyakini ahli waris, sebagiamana hal tersebut tersirat dari pasal 171 huruf (c) KHI yang mendefinisikan ahli waris, yaitu: “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.” Berdasarkan ketentuan tersebut, berlainan agama akan terhalang haknya mendapat harta warisan layaknya ahli waris lainnya. Ketentuan ini merupakan kesepakatan sebagian ulama yang menentukan 3 hal yang menjadi halangan seseorang menjadi ahli waris yaitu karena perbudakan, pembunuhan, dan perbedaan agama. Islam sebagai rahmatan lil alamin maka hukum yang terdapat dalam Isalampun harus mewujudkan kerahmatan itu, terlebih bahwa asas dari hukum itu adalah, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

[1] Kompilasi Hukum Islam (KHI).


Keywords


Heirs, Non-Muslims, Obligatory Wills

Full Text:

PDF


DOI: http://dx.doi.org/10.58258/jisip.v7i2.4606

Refbacks

  • There are currently no refbacks.




Copyright (c) 2023 Dr. Dhiauddin Tanjung S.HI, MA



Lisensi Creative Commons
Ciptaan disebarluaskan di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa 4.0 Internasional.

JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan)
p-ISSN: 2598-9944, e-ISSN: 2656-6753
Jurnal ini diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala.