UPACARA ADAT DAN KONSERVASI PENYU DI KUTA DAN TANJUNG BENOA, BALI

Handri Jurya Parmi

Abstract


Beberapa upacara adat yang ada di Bali khusunya daerah kuta dan tanjung benoa seringkali menggunakan sesajian dari daging penyu. Penyu dijadikan sebagai sesajian karena orang Hindu-Bali percaya bahwa penyu merupakan penjelmaan dari dewa Wisnu.Upacara adat yang menggunakan daging penyu antara lain adalah Pedudusan Agung, Ngenteg Linggih, Eka Dasa Rudra, Panca Bali Krama.Penyu sendiri merupakan hewan yang dilindungi oleh pemerintah indonesia maupun internasional karena keberadaannya yang sudah langka dan mulai punah.Adanya kontradiktif antara upacara adat yang menggunakan penyu sebagai sesajian dengan program pihak internasional yang melindungi penyu dari perburuan mengakibatakan pemerintah indonesia dan pemerintah daerah Bali untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak mengakibaktkan terjadinya ketimpangan, dan hal ini juga di diskusikan dengan pemuka adat dan agama yang ada di Bali. Ancaman terhadap kehidupan penyu tidak hanya berasal dari kegiatan pemburuan oleh manusia maupun upacara adat, tapi bisa juga diakibatkan oleh pencemaran lingkungan dan penyakit, terjadinya global warming, pembanguan daerah pesisir serta terjadinya dampak industri perikanan.


Keywords


Upacara adat, Konservasi penyu, Bali

Full Text:

PDF


DOI: http://dx.doi.org/10.58258/jisip.v4i3.1470

Refbacks

  • There are currently no refbacks.




Copyright (c) 2020 Handri Jurya Parmi



Lisensi Creative Commons
Ciptaan disebarluaskan di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa 4.0 Internasional.

JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan)
p-ISSN: 2598-9944, e-ISSN: 2656-6753
Jurnal ini diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala.