Perbandingan Perlindungan Hukum Konsumen Dan Penyelesaian Sengketa Cross Border E-Commerce Negara Indonesia Dengan Jepang

Marcel Eka Surya Simanjuntak

Abstract


Tiap negara untuk melindungi masyarakatnya yang sebagian besar dalam pandangan transaksi online ini merupakan konsumen, memiliki sikap yang berbeda mengenai perubahan yang dibawa oleh boomingnya transaksi secara online ini. Di Indonesia, mengenai pengaturan terkait E-commerce terdapat Undang-Undang No.8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen mengatur hak-hak pelanggan. Pada pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, diantaranya “(e) hak untuk memperoleh advokasi, perlindungan, serta usaha penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dengan patut; (h) hak untuk memperoleh kompensasi, ganti rugi maupun penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan (i). hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan  perundang-undangan lainnya.”. Apabila antara pelaku usaha dengan pelanggan berada pada satu wilayah yurisdiksi yang sama yakni yurisdiksi Indonesia maka aspek dari hukum perlindungan konsumen akan berlaku. Andaikata pelaku usaha dengan pelanggan berada pada yurisdiksi yang tidak sama maka akan muncul permasalahan. Kalau pelaku usaha yang ada diluar wilayah Indonesia, sesungguhnya kembali lagi kepada perjanjian diantara para pihak yang sudah disahkan sebelum itu.

Contoh negara berikutnya adalah Jepang. Tidak ada kode hukum konsumen yang seragam di Jepang.  Hukum yang paling mendasar untuk perlindungan konsumen adalah Undang-Undang Dasar tentang Kebijakan Konsumen (shohisha-kihon-hou).  Undang-undang ini menetapkan prinsip-prinsip dasar kebijakan konsumen dan tanggung jawab perusahaan; namun, undang-undang ini hanya menetapkan target dan kebijakan politik yang tidak mengikat yang harus diikuti oleh pemerintah pusat dan tidak menetapkan hak dan kewajiban hukum warga negara untuk mendapatkan keringanan melalui prosedur pengadilan.  Aturan khusus tentang perlindungan konsumen diatur dalam sejumlah undang-undang tersendiri.  Sebagai contoh, ada undang-undang yang mengatur bisnis di sektor industri tertentu (misalnya, Undang-Undang Transaksi Komersial Tertentu (tokutei-shotorihiki-hou) ("ASCT") dan Undang-Undang Penjualan Cicilan (kappu-hanbai-hou)), serta undang-undang khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (misalnya, Undang-Undang Kontrak Konsumen (shohisha-keiyaku-hou) dan Undang-Undang Tanggung Jawab Produk (seizobutsu-sekinin-hou)).  Di antaranya, sehubungan dengan undang-undang yang mengatur bisnis di sektor industri tertentu, peraturan terperinci ditetapkan dalam norma-norma bawahan seperti Perintah Kabinet dan Peraturan Menteri, dan dalam banyak kasus, interpretasi peraturan ini ditunjukkan dalam pedoman yang dikeluarkan oleh otoritas pengawas.  Oleh karena itu, penting untuk memahami interpretasi ini agar dapat memahami isi undang-undang dan peraturan dengan benar. 

Umumnya pada kontrak akan dimasukkan klausul choice of law (pilihan hukum). Tetapi sejumlah lokapasar (marketplace), seperti Amazon.Com, pada klausul condition of use yang diumumkan, Amazon.Com menjelaskan bahwasanya untuk semua jual beli yang dilaksanakan berlaku The Law of State of Washington sebagai pilihan hukumnya. Hal ini tentu menimbulkan masalah baru dikarenakan konsumen dapat dikatakan tidak memiliki pilihan hukum, akan hukum apa yang dapat dipakai ketika terjadi perselisihan dengan pelaku usaha atau e-commerce. Pada permasalahan tersebut, perlindungan hukum untuk pelanggan perlu dilaksanakan melalui prosedur internasional dengan penyesuaian hukum serta kerjasama lembaga-lembaga penegak hukum. Menjadi pertanyaan terkait pemenuhan hak-hak pelanggan yang dimuat pada UUPK serta perlindungan hukumnya ketika para pihak melakukan transaksi yang dilakukan secara cross border serta penyelesaian sengketa perjanjian cross border e-commerce. Persoalan itu memunculkan ketidakpastian hukum disebabkan hilangnya perlindungan hukum terhadap pelanggan pada penanggulangan sengketa perjanjian digital internasional secara e-commerce. Jenis penelitian pada penulisan ini ialah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu, data yang diperoleh dan diolah adalah berupa jenis data primer, data sekunder dan data tersier.  Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Kedua Bahan hukum sekunder, buku-buku teks yang membicarakan suatu atau beberapa permasalahan hukum, termasuk skripsi, tesis, dan jurnal. Ketiga, Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang merupakan kamus hukum, kamus besar bahasa Indonesia. Pengumpulan data skunder tersebut menggunakan studi kepustakaan. Tiap negara memiliki hukum yang berbeda dalam mengatur mengenai perlindungan konsumen. Seperti uraian dalam artikel yang ditulis ini, negara Indonesia dan Jepang memiliki peraturan yang berbeda. Selain itu juga dalam penyelesaian sengketanya, di Indonesia opsi penggunaan ODR kerap digunakan, namun berbeda dengan Jepang karena di Jepang penggunaan ODR sebagai media penyelesaian sengketa masih belum secara luas digunakan. Padahal selama belum ada Undang-Undang baru yang mengatur lebih lanjut mengenai E-commerce, ODR lah yang lebih cocok digunakan dalam penyelesaian sengketa dalam kasus transaksi E-commerce.


Full Text:

PDF


DOI: http://dx.doi.org/10.58258/jisip.v7i3.5144

Refbacks

  • There are currently no refbacks.




Copyright (c) 2023 Marcel Eka Surya Simanjuntak



Lisensi Creative Commons
Ciptaan disebarluaskan di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa 4.0 Internasional.

JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan)
p-ISSN: 2598-9944, e-ISSN: 2656-6753
Jurnal ini diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala.