Program Hutan Kemasyarakatan Berbasis Kearifan Lokal ; Studi Kasus Di Kawasan Hutan Lindung Sesaot Lombok Barat

Mukhtar Mukhtar, Wardatul Jannah

Abstract


Program Hutan Kemasarakatan (HKm) di Nusa Tenggara Barat (NTB), diujicobakan sejak tahun 1995/1996, di areal kawasan hutan lindung Sesaot seluas 25 ha, dengan penggarap sebanyak 58 orang, dengan pola agroforestry. Pada tahun 1998 kemudian dilakukan evaluasi oleh Departemen Kehutanan. Hasilnya, tingkat keberhasilan mencapai 93 %. Terhadap keberhasilan tersebut, dilakukan perluasan mencapai 211 Ha, sehingga  total luasan areal mencapai 236 ha,  dengan jumlah penggarap mencapai 1.224 kepala keluarga. Dalam perkembangan pelaksanaan program HKm, terjadi sejumlah konflik, baik konflik vertikal antara masyarakat dengan aparat Dinas Kehutanan maupun konflik horizontal antar kelompok-kelompok tani penggarap. Menindaklanjuti konflik tersebut, pemerintah daerah melakukan pengembangan kelembagaan masyarakat berbasis nilai-nilai kearifan lokal yang dikenal dengan istilah awig-awig (aturan lokal pada Suku Sasak) pada tingkat kelompok dan tingkat kawasan. Kenyataan di lapangan, kondisi ekologis kawasan hutan lindung Sesaot mengalami penurunan. Debit Sungai Aik Nyet yang berada di kawasan hutan lindung Sesaot dalam kurun waktu enam tahun (1998-2002) telah terjadi penyusutan debit air sebesar 18,32 m3/detik. Artinya, pelibatan masyarakat melalui program HKm, bertolak belakang dengan kondisi ekologis kawasan hutan. Penelitian ini bertujuan untuk (1) memahami makna program HKm oleh masyarakat; (2) Memahami penerapan Awig-awig mengenai program HKm dan (3) memahami penerapan program HKm. Beberapa teori yang digunakan dalam menganalisa temuan penelitian antara lain teori ekologi manusia dan teori interaksional simbolik. Metode penelitian menggunakan rancangan kualitatif dengan pendekatan studi kasus.  Sumber data atau informan adalah masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan yang termasuk penggarap program HKm dan penggarap HKm non program, juga orang dari luar kawasan hutan yang dianggap relevan. Penentuan informan dilakukan dengan metode snowball sampling dan purposive. Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan, wawancara mendalam, studi dokumentasi dan triangulasi. Sedangkan analisa data dilakukan melalui analisa deskriptif menggunakan model Miles dan Huberman. Pengujian keabsahan data dan informasi, dilakukan dengan metode triangulasi dan pemeriksaan sejawat melalui diskusi. Hasil penelitian; Pertama, makna program HKm oleh masyarakat dipahami sebagai kesempatan untuk memperoleh hak kelola lahan di dalam kawasan hutan untuk kegiatan usaha tani. Akibatnya masyarakat cenderung berprilaku eksploitatif untuk memaksimalkan manfaat ekonomi lahan. Dalam kaitannya dengan fungsi konservasi, terjadi perbedaan pemahaman antara masyarakat dengan Dinas Kehutanan. Masyarakat memaknai konservasi dari keseluruhan vegetasi sebagai kesatuan fungsi ekonomi dan konservasi, sehingga pemanfaatan lahan lebih didominasi oleh tanaman MPTS. Dinas Kehutanan memaknai tanaman pohon untuk pengintegrasian fungsi konservasi guna mendukung manfaat ekonomi. Ke dua, Revitalisasi nilai Awig-awig sebagai aturan pelaksanaan program HKm masih dipandang sebagai simbolisasi nilai lokal. Dalam implementasinya belum efektif untuk mendukung pengintegrasian fungsi konservasi  dan fungsi ekonomi sesuai dengan tujuan program HKm. Dari 12 muatan aturan dalam Awig-awig kawasan, hanya tiga muatan aturan yang dijalankan dan sembilan muatan aturan belum efektif berjalan. Pelanggaran Awig-awig yang sulit ditangani terdiri dari sindikat pencurian kayu, perilaku perambahan hutan, praktek ganti rugi lahan dan penegakan komposisi tanam.

Ke tiga, Penerapan program HKm oleh masyarakat belum efektif mendukung pelestarian sumberdaya hutan secara berkelanjutan. Penerapan yang dilakukan masih sebatas pada pelestarian jangka pendek. Hal itu disebabkan karena masyarakat lebih berorientasi pada pemenuhan keinginan, bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Berdasarkan hasil penelitian, dirumuskan saran akademis yakni pentingnya kajian lebih lanjut dari beberapa sudut pandang antara lain (i) kesesuaian luas lahan terhadap kecukupan ekonomi rumah tangga; (ii) Kesesuaian pola tanam untuk mendukung integrasi fungsi konservasi dengan fungsi ekonomi, (iii) perumusan model penguatan kelembagaan masyarakat berbasis nilai-nilai kearifan lokal dan pengetahuan ekologi lokal.

Saran praktis, yakni (1) aspek tata kelola kawasan; diperlukan inventarisasi ulang tata batas kawasan, mendorong percepatan pemberian izin resmi kepada masyarakat dan melakukan rekonstruksi ulang kawasan yang ditetapkan sebagai lahan kelola HKm; (2) aspek tata kelola usaha; diperlukan intervensi program pengembangan usaha produktif melalui penguatan peran perempuan serta menggeser intensifikasi produksi di dalam kawasan hutan ke intensifikasi produksi di luar kawasan hutan dan (3) aspek tata kelola kelembagaan; untuk kelembagaan masyarakat diperlukan program penguatan kapasitas dan dukungan program untuk penguatan Awig-awig. Bagi kelembagaan pemerintah diperlukan komitmen terutama aparat-aparat yang di lapangan untuk melakukan penegakan hukum secara adil dan tidak bermain ganda  serta dukungan pengakuan formal terhadap Forum Kawasan.

Keywords


Kearifan Lokal, Kawasan Hutan Lindung Sasaot

Full Text:

PDF


DOI: http://dx.doi.org/10.58258/jisip.v2i1.612

Refbacks

  • There are currently no refbacks.




Copyright (c) 2019 JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan



Lisensi Creative Commons
Ciptaan disebarluaskan di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa 4.0 Internasional.

JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan)
p-ISSN: 2598-9944, e-ISSN: 2656-6753
Jurnal ini diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala.